Jumat, 14 Desember 2012

migas dan ekonomi

Pada 1956, Indonesia memulai proses nasionalisasi terhadap perusahaan-perusahaan asing, yang dimulai dengan perusahaan-perusahaan Belanda, sebagai usaha untuk merealisasikan salah satu dari tujuan pokok Proklamasi: kemerdekaan ekonomi. Politik ekonomi nasionalisasi itu telah berbuntut "pengunduran diri" Hatta pada Desember 1956. Pengunduran diri itu, berbeda dengan penilaian umum yang lazim ditulis dalam buku-buku sejarah, dimana peristiwa itu menjadi momen ke-santo-an Hatta (yang secara diametral selalu dipertentangkan dengan pribadi Soekarno, yang dianggap sebaliknya), jika dikaitkan dengan proses nasionalisasi maka pengunduran diri Hatta memang "sudah seharusnya". Kita tahu, ketua delegasi Indonesia dalam perundingan KMB (Konferensi Meja Bundar) adalah Hatta, dimana salah satu butir kesepakatan dalam KMB adalah pemerintah Republik mempertahankan keberadaan perusahaan-perusahaan asing milik Belanda dan bahkan pemerintah Republik menyetujui untuk membayar utang-utang pemerintah kolonial Belanda. Butir-butir yang kemudian memicu pertengkaran dan perpecahan itu disetujui oleh Hatta. Persetujuan itu sebenarnya di dalam anggota delegasi sendiri telah melahirkan pertengkaran hebat antara Hatta dengan Sumitro Djojohadikusumo, dimana Sumitro menolak dengan keras terutama butir mengenai kewajiban Indonesia membayar utang pemerintah kolonial. Bahkan Sumitro berani mengajukan perhitungan bahwa sebenarnya Belandalah yang harus membayar utang pada pemerintah Republik. Proses nasionalisasi yang dilakukan Soekarno pada 1956 secara terang merupakan bentuk pembatalan secara sepihak terhadap hasil KMB. Secara etis, Hatta, sebagai ketua delegasi KMB, berhadapan dengan proses nasionalisasi itu, tentu harus mengundurkan diri. Pengunduran diri itu memang tetap merupakan bentuk kesantunan politik, namun dalam konteks ini kesantunan itu tak lagi berada seperti dalam perspektif yang lazim sebagaimana telah disinggung sebelumnya. Jadi, pengunduran diri Hatta tak ada hubungannya dengan pribadi Soekarno yang dianggap sedang memupuk watak "diktator"-nya, sebuah tuduhan yang sepenuhnya sangat bias, karena dalam situasi demikian pengunduran diri itu memang sudah keharusan etis bagi Hatta. Menarik untuk mencermati bahwa obyek nasionalisasi pada 1956 memang hanya mencakup perusahaan-perusahaan Belanda. Apakah dengan demikian pemerintah Republik yang dipimpin Soekarno tidak menaruh perhatian terhadap perusahaan-perusahaan asing lainnya? Ternyata tidak. Soekarno justru sangat memperhatikan perusahaan-perusahaan asing lainnya, terutama perusahaan-perusahaan minyak yang telah beroperasi sejak masa kolonial. Dalam perspektif hari ini, kita harus menghubungkan jeda dalam proses nasionalisasi itu dengan disusunnya sebuah undang-undang payung yang pada dasarnya disusun untuk menjadi dasar yuridis formal bagi cita-cita kemerdekaan ekonomi, yaitu UU No. 5 Tahun 1960 yang disebut Undang Undang Pokok Agraria (UUPA). Undang-undang tersebut memang revolusioner, dimana sebagai konsekuensi dari disahkannya UUPA, maka seluruh perundang-undangan yang terkait dengan soal agraria harus disesuaikan, termasuk undang-undang pertambangan dan migas. Perlu diketahui, agraria, secara konseptual, bukan hanya mencakup permukaan tanah (land), melainkan mencakup tanah, air, udara, dan kekayaan yang terkandung di dalamnya. Oleh karena itu tidak mengherankan, pada 26 Oktober 1960, sebagai konsekuensi dari ditetapkannya UUPA, pemerintah Republik menerbitkan Perpu No. 44/1960 tentang Pertambangan Minyak dan Gas Bumi. Isinya sangat revolusioner. Simak saja bunyi Pasal 2: "Segala bahan galian minyak dan gas bumi yang ada didalam wilayah hukum pertambangan Indonesia merupakan kekayaan nasional yang DIKUASAI OLEH NEGARA (huruf kapital dari saya)". Simak juga Pasal 3, yang terdiri dari dua ayat: "(1) Menyimpang dari ketentuan-ketentuan seperti yang termaktub dalam Pasal 4 undang-undang tentang pertambangan, maka pertambangan minyak dan gas bumi HANYA DIUSAHAKAN OLEH NEGARA (huruf kapital dari saya). (2) Usaha pertambangan minyak dan gas bumi DILAKSANAKAN OLEH PERUSAHAAN NEGARA SEMATA-MATA" (huruf kapital dari saya). Yang dimaksud dengan usaha pertambangan minyak dan gas bumi itu, sesuai bunyi Pasal 4, mencakup kegiatan eksplorasi, eksploitasi, pemurnian dan pengolahan, pengangkutan, dan penjualan. Terbitnya Perpu itu menunjukkan jika pemerintah Republik pada masa itu bersifat sangat tertib hukum. Jika dihitung sejak nasionalisasi perusahaan-perusahaan Belanda pada 1956, artinya pemerintah memerlukan waktu sekira empat tahun untuk merancang dasar-dasar yuridis bagi politik perekonomian anti-kolonial. Tiga tahun kemudian, sebagai bagian dari usaha untuk menegakkan kedaulatan di bidang migas, pemerintah Republik menerbitkan UU No. 13 dan 14 Tahun 1963 yang berisi perjanjian karya antara perusahaan-perusahaan negara di bidang minyak dan gas bumi dengan perusahaan-perusahaan asing. Pada 28 April 1965, Chairul Saleh, yang merupakan Menteri Urusan Minyak dan Gas Bumi, menegaskan bahwa pemerintah berkepentingan untuk menguasai dan mengawasi semua perusahaan minyak yang ada di Indonesia. Selain untuk tujuan kemakmuran, politik ekonomi energi di masa itu juga secara tegas dinyatakan sebagai "untuk tujuan pertahanan" dari gempuran Nekolim. Proses nasionalisasi di bidang migas itu, seturut penjelasan Chairul Saleh, tidak dilakukan secara gegabah dan tidak patut. Hal itu dilakukan melalui ketentuan bahwa semua perusahaan minyak asing yang beroperasi di Indonesia harus tunduk dan diatur oleh perusahaan-perusahaan negara yang menjadi partnernya. Jika kita mengingat kembali sejarah, tahun-tahun itu adalah tahun ketika slogan BERDIKARI (Berdiri di Atas Kaki Sendiri) mulai bergaung. Dan membaca uraian sebelumnya, kita tahu bahwa slogan itu bukanlah slogan kosong, melainkan bentuk penegasan jargonik atas usaha-usaha yuridis dan institusional yang telah dilakukan pemerintah Republik untuk menata perekonomian Indonesia pasca-kolonialisme. Secara kelembagaan usaha itu sudah dilakukan sejak 1956, dan jargon itu hanya hendak mengkomunikasikan sekaligus menegaskan apa yang sedang dilakukan pemerintahan Soekarno. Tuduhan kegagalan melakukan pembangunan ekonomi terhadap pemerintahan Soekarno, yang pembuktiannya seringkali ditimpakan pada hiperinflasi hingga 650 persen yang terjadi pada 1965, pada dasarnya seringkali mengaburkan usaha-usaha fundamental yang sedang dikerjakan rejim Soekarno untuk memulihkan perekonomian Indonesia dari kolonialisme ekonomi. Kalau kita mengingat kembali krisis 1998, inflasi yang terjadi pada waktu itu disebabkan karena terjadinya capital flight, yang membuat perekonomian nasional mengalami kontraksi. Begitu pula sebenarnya yang terjadi pada 1965, hiperinflasi juga disebabkan karena capital flight, dimana rekonstitusi perekonomian nasional telah mendorong perusahaan-perusahaan asing untuk melarikan modalnya ke luar negeri. Menyesalkan terjadinya hiperinflasi sama artinya dengan menyesalkan usaha rekonstitusi perekonomian nasional yang sedang dilakukan oleh pemerintahan Soekarno. Pada tahun 1965, majalah Mimbar Pembangunan mendokumentasikan sebagian momen-momen ekonomi itu. Majalah yang diterbitkan oleh Sekretariat Menteri Koordinator Kompartemen Pembangunan ini terbit sebulan sekali. Edisi yang diunggah ini merupakan nomor perdananya, terbit Mei 1965. Di dalamnya kita bisa membaca ceramah Chairul Saleh yang telah disebut di muka. Pada edisi ini kita bisa juga membaca artikel yang ditulis oleh Ir. L.G. Tampubolon yang berjudul "Peranan Batubara di Indonesia akan Semakin Penting", sebuah pemikiran yang kini semakin nyata kebenarannya. Berdikari adalah pilihan niscaya jika kita berpikir mengenai kemerdekaan ekonomi. Tak ada kemerdekaan ekonomi tanpa kemerdekaan dari modal asing. Namun, hanya mereka yang pemahaman bahasa Indonesianya sangat buruk yang menyamakan Berdikari dengan autarki. Selamat memperingati Bulan Bung Karno yang hampir silap. (IRIB Indonesia/Tarli Nugroho/PH) Tags:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar